"Mencari ilmu itu fardhu (wajib) bagi setiap Muslim.”
Demikian sabda Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu haditsnya, yang dirawikan Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (Sunan Ibnu Majah).
Pertanyaannya, ilmu apa yang
wajib dipelajari?
Sebab ilmu Allah sangat luas.
Bahkan andaikan seluruh ranting pohon di dunia dijadikan pena, dan air lautan
dijadikan tinta untuk menulis seluruh ilmu Allah, tidak akan cukup.
Jika menilik hadits lain yang
disabdakan Nabi kita akan tahu, ilmu yang diperintahkan oleh Nabi untuk dicari
dan dipelajari bukan sembarang ilmu. Memang pada hadits di atas Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan ilmu apa yang wajib dicari dan
dipelajari. Namun di hadits lain beliau mengisyaratkan, ilmu yang wajib
dipelajari adalah ilmu yang bermanfaat (‘ilm nafi’).
Isyarat tersirat tersebut
termaktub dalam beberapa do’a yang masyhur dari Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Diantaranya adalah do’a memohon ilmu yang bermafaat yang
berbunyi:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا،
وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, aku memohon
kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezki yang baik, dam amalan yang diterima”.
(HR. Ibnu Majah).
Do’a ini merupakan salah satu
bacaan dzikir pagi setelah Shalat Subuh. Ada tiga hal penting yang terdapat dalam do’a ini, amal
yang diterima, rezki yang baik, dan ilmu yang bermanfaat. Hal ini
mengisyaratkan, ilmu ada yang bermanfaat dan ada pula yang tidak bermanfaat.
Seorang Muslim hendaknya hanya
mencari, mempelajari, dan meminta ilmu yang bermanfaat. Sebab Rasul telah
mencontohkan dalam do’anya meminta ilmu yang bermanfaat. Bahkan di hadits lain
secara tegas beliau menganjurkan untuk
berdoa memohon ilmu yang bermanfaat dan berlindung kepada Allah dari ilmu yang
tidak bermanfaat.
Beliau mengatakan dalam sabdanya
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah;
سَلُوا اللَّهَ عِلْمًا
نافِعاً، وَتَعوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ عِـــــلْمٍ لَا يَنْفَعُ
“Mintalah kepada Allah ilmu
yang bermanfaat dan berlindunglah dari Allah ilmu yang tidak bermanfaat”
(HR. Ibnu Majad dan Ibnu Abi Syaibah).
Anjuran tersebut juga disertai
contoh lafaz doa meminta ilmu yang bermanfaat dan berlindung dari ilmu yang
tidak bermanfaat.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا
يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا
يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepadaMu dari ilmu yang
tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak puas, dan
dari do’a yang tidak dijwab”
(HR. Muslim).
Dalam riwayat Imam Tirmidzi dengan urutan dan redaksi yang sedikit
berbeda, dinyatakan:
اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ، ومِنْ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ
لاَ تَشْبَعُ، وَمِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَؤُلاَءِ الأَرْبَع
Ya Allah, aku berlindung
kepadamu dari hati yang tidak khusyu’, dari do’a yang tidak didengarkan, dari
jiwa yang tidak merasa cukup, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Aku
berlindung kepadamu dari keempat hal tersebut”. (HR. Tirmidzi)
Dalam hadits tersebut secara
tegas Nabi berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, sebagaimana
ditunjukan oleh frasa, “a’udzu bika min ‘ilm la yanfa’).
Menurut para Ulama, yang dimaksud dengan ilmu yang tidak bermanfaat dalam hadits ini adalah (1) Ilmu yang tidak diamalkan, (2) Ilmu yang pemiliknya tidak mengambil dan tidak mendapat manfaat darinya, (3) ilmu yang tidak diajarkan, dan (4) ilmu yang tidak memperbaiki akhlaq, perilaku dan tutur kata seseorang.
Sedangkan ilmu yang bermanfaat
adalah ilmu yang membuat seseorang makin takut kepada Allah, menjadikan
seseorang makin peka terhadap aib dan kekurangan dirinya serta kelalaiannya
dalam beramal dan membut seseorang makin zuhud serta tidak rakus terhadap
dunia. (Lih. Tuhfatudz Dzakirin, hlm. 419, Faidhul Qadir 2/153, dan
Al-Futuhat Ar Rabaniyah 3/132).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
ilmu yang wajib dipelajari sebagaimana diperintahkan oleh Nabi adalah ilmu yang
bermanfaat. Bukan ilmu yang tidak bermafaat. Tentu saja kadar kemanfaatan yang
dimaksud adalah manfaat yang kembali kepada maslahat diri sendiri, dan manfaat
yang muta’addiyah. Manfaat muta’addiyah maksudnya manfaat kepada pihak lain. Yakni
manfaat kepada sesama.
Artinya ‘ilm nafi’ yang wajib
dipelajari mencakup ilmu yang bermanfaat bagi diri, dan manfaat bagi orang lain
dalam kehidupan sosial bermayarakat. Ilmu yang manfaatnya untuk kebaikan diri
sendiri termasuk fardhu (wajib) ‘ain. Sedangkan ilmu yang bermanfaat
bagi orang banyak dalam level kehidupan sosial bermasyarakat hukumnya fardhu
kifayah. Wallahu a’lam.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar