Karya-karya sejarah para
sejarawan kontemporer ada umumnya ditulis menggunakan metode metode ilmiah yang
dikembangkan dalam penelusuran sumber dan penulisan sejarah. Metode ini disebut
metode sejarah. Metode ini merupakan standar dasar suatu tulisan sejarah
ilmiah. Cara-cara ini tentu tidak digunakan dalam penulisan buku pelajaran
sejarah. Cara-cara ini digunakan oleh para peneliti sejarah yang membuat
buku-buku dasar untuk kemudian dijadikan rujukan dalam penulisan sejarah yang
lebih lengkap.
Ada baiknya metode ini diketahui
untuk dapat sedikit mengenal bagaimana para sejarawan bekerja menghasilkan
berbagai karya sejarah. Kamu bisa juga mempraktikkannya dalam skala kecil
menuliskan sejarah sesuatu yang ada di sekitar kamu. Berikut cara kerja
sejarawan (metode sejarah) yang biasa dipakai para sej arawan.
4 Proses Penulisan Sejarah
Ada empat proses yang umumnya
dilakukan para sejarawan dalam menelusuri dan kemudian menuliskan sejarah.
Pertama, Proses
Heuristic (Penelusuran Sumber)
Setelah topik yang akan dibahas
ditentukan, untuk memulai penelitiannya, sejarawan akan mencari sumber-sumber
yang dapat memberikan informasi mengenai topik sejarah yang akan dituliskannya.
Sumber-sumber ada dua jenis:
sumber primer (primaty resources) dan sumber sekunder (secondary
resources).
Sumber primer adalah sumber Utama
yang memberikan informasi langsung mengenai peristiwa. Sumber ini pada umumnya
berupa dokumen-dokumen dan catatan-catatan yang menyimpan informasi mengenai
suatu peristiwa di masa lalu.
Dokumen atau catatan ini dibuat pada saat peristiwa terj adi oleh orang yang menyaksikannya atau bahkan oleh pelakunya sendiri. Dokumen-dokumen ini pada umumnya tersimpan di arsip. Penyimpanan arsip resmi di Negara ini terdapat di kantor Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta. Di setiap daerah ada juga kantor-kantor arsip daerah, namun koleksinya terbatas. Selain di kantor Arsip, dokumen-dokumen ini sebagian ada juga yang disimpan di Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Sebagian lain disimpan di bagian arsip kantor-kantor, perusahaan-perusahaan, dan bahkan disimpan oleh perorangan sebagai koleksi pribadi. Di manapun dokumen-dokurnen itu ada, sejarawan harus mencari dan menemukannya. Kalau para pelaku atau saksi sejarah masih hidup, sejarawan dapat pula meminta keterangan langsung darinya. Keterangan lisan dari pelaku atau saksi sejarah tergolong pula sebagai sumber primer.
Sementara itu, sumber sekunder adalah sumber-sumber yang sudah bukan lagi informasi langsung. Sumber sekunder biasanya berupa buku-buku yang ditulis oleh para penulis sejarah yang menggunakan sumber primer sebagai rujukannya. Sumber ini sering juga digunakan oleh para sejarawan untuk melengkapi kisah yang akan ditulisnya atau untuk mendapatkan informasi awal mengenai suatu peristiwa. Buku-buku pelajaran sejarah pada umumnya memanfaatkan sumber-sumber sekunder sebagai rujukannya.
Kedua, Proses Kritik Sumber
Setelah sumber-sumber ditemukan, para sejarawan akan melakukan kritik (penilaian) sebelum memastikannya untuk digunakan sebagai rujukan. Kritik dilakukan untuk menilai apakah sumber tersebut layak dijadikan sumber atau tidak.
Terkadang ada sumber yang terlihat
sebagai sumber primer, namun isi beritanya tidak dapat dipertanggungjawabkan
sehingga tidak layak untuk dijadikan rujukan. Demikian pula sumber lisan.
Sangat mungkin pelaku sejarah yang diwawancarai tidak layak diambil
keterangannya karena sudah hilang ingatan atau lainnya. Proses kritik ini
mutlak dilakukan seorang peneliti sej arah untuk menjamin bahwa sumber-sumber
yang digunakan memang layak untuk dijadikan rujukan.
Ketiga dan Keempat, Penulisan
Proses ketiga dan keempat adalah
tahap penulisan sej arah. Pada tahap ini
ada dua hal pokok yang dilakukan sejarawan, yaitu interpretasi (penafsiran)
terhadap sumber-sumber yang sudah dianggap layak dan penulisan kisah. Kedua
proses ini tidak dapat dilepaskan satu dari yang sekunder lainnya. Suatu
penulisan kisah sejarah tidak mungkin dilakukan tanpa melibatkan penafsiran sej
arawan dan penafsiran tidak berfungsi apa-apa kalau tidak dituliskan.
Proses penafsiran dan penulisan
inilah yang akan menghasilkan suatu kisah sejarah yang wajar, logis, dan hidup.
Antara satu peristiwa dengan peristiwa lain terlihat hubungannya sehingga
terjalin suatu cerita mengenai masa lalu seperti yang diinginkan para pembaca.
Dalam proses “penafsiran”
biasanya seorang penulis sejarah akan terpengaruh oleh berbagai hal, terutama
oleh kepentingan dan keyakinan yang dianutnya. Ini sesuatu yang tidak bisa
dihindarkan. Setiap kepentingan dan keyakinan, langsung ataupun tidak, akan
mendasari setiap penulisan sejarah. Bahkan, bagi seorang Muslim, penulisan
sejarah harus merupakan manifestasi dari kepercayaan dan keyakiannya terhadap
Islam.
Hal ini tidak akan mengurangi
nilai ilmiah suatu karya sejarah sepanjang tidak ada faktafakta yang
disembunyikan atau dibuat fakta-fakta palsu. Keilmiahan suatu karya sejarah
ditentukan oleh kualitas sumber-sumber yang digunakan oleh sej arawan dan
bagaimana ia mengolahnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar