Sejarah| Sejarah Sebagai Ilmu
Pada tulisan terdahulu telah
diulas penjelasan tentang asal-usul
istilah sejarah menurut bahasa serta makna sejarah sebagai peristiwa dan sejarah sebagai kisah. Pada tulisan ini akan
dilanjutkan dengan penjelasan tentang sejarah sebagai ilmu.
Membahas sejarah sebagai kisah,
ini kelihatannya ada peran “penulis sejarah” yang dominan. Tanpa ada yang
menuliskannya mustahil ada kisah sejarah yang bisa dibaca dan diwariskan. Kalau
begitu, sebetulnya kisah sejarah adalah suatu pengetahuan penulis sejarah
tentang masa lalu yang dituliskannya”. Kalau ini adalah pengetahuan penulisnya
pasti ada kemungkinan salah dan benar. Penulis sejarah adalah manusia yang bisa
benar dan bisa salah. Begitu pula pengetahuan yang dihasilkannya.
Oleh sebab itu, untuk menjamin
bahwa cerita-cerita yang disampaikan oleh penulis sejarah dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka para ahli sejarah sejak masa lalu
sampai sekarang meletakkan prinsip-prinsip yang benar untuk menuliskan sejarah.
Prinsip-prinsip inilah yang kemudian dikenal sebagai ilmu sejarah. Dalam
setiap masyarakat yang memiliki peradaban dan tradisi ilmu yang tinggi pasti
akan ditemukan cara-cara ilmiah dalam menuliskan sejarah. Penulisan sejarah
tidak semata-mata dituliskan begitu saja tanpa ada aturan untuk menjamin
kualitas benar-salahnya.
Dalam tradisi masyarakat Islam
yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, misalnya, penulisan sejarah tidak
asal dibuat begitu saja. Ada dasar-dasar keilmuan yang dibuat untuk menjamin
bahwa cerita-cerita sejarah yang dibuat benar, bukan hanya sekadar cerita tanpa
fakta dan bukti. Dasar-dasar ilmu inilah yang kemudian melahirkan jutaan
tulisan sejarah (historiografi) di dunia Islam yang tidak ada tandingnya sepanjang
sejarah umat manusia.
Untuk menulis sejarah awal Islam
yang sumber-sumbemya lebih banyak berdasarkan riwayat-riwayat lisan. Lalu
ilmuwan-ilmuwan Muslim telah meletakkan metode khusus kritik riwayat yang di
kemudian hari dikenal sebagai ilmu dirayah. Ada pula para ilmuwan Muslim yang
sengaja mengumpulkan informasi-informasi itu dalam satu kumpulan riwayat.
Riwayat yang dikumpulkan ada yang sudah dikritik; ada pula yang belum dan hanya
disebutkan sumbernya. Ilmu untuk mengumpulkannya dinamakan ilmu riwayat.
Kumpulan-kumpulan kisah masa lalu yang mereka bukukan pada umumnya diberi judul
Siyar (t. sirah), mu'jam (j. ma'ajim), tarjamah
(j. tarajum), thabaqat, tarikh, jami', sunan (t. sunnah), dan
semisalnya.
Patokan ilmiah untuk menjaga
akurasi suatu cerita sejarah yang dipegang oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim ini pada
gilirannya telah menempatkan umat Islam pada zamannya sebagai mercusuar
peradaban dunia. Peradaban Islam di Damaskus, Baghdad, Mesir, dan di belahan
dunia Islam lainnya menjadi saksi bagaimana ilmu menjadi semangat utama yang
mendasari tegaknya peradaban mulia ini. Seluruh bangsa di dunia, termasuk
bangsa Eropa, belajar ilmu pengetahuan dari umat Islam.
Pada masyarakat yang kurang
menghargai ilmu pengetahuan, biasanya tidak ditemukan ketentuan-ketentuan
ilmiah bagaimana cara menuliskan sejarah (masa lalu) yang benar, sekalipun
terkadang ada catatan-catatan sejarah yang mereka buat. Misalnya, di Indonesia
pada masa kerajaan-kerajaan Hindu, Budha, dan Islam ditemukan ada beberapa kisah
sejarah yang dibuat oleh para pujangga istana. Tulisan mereka tentang sejarah
zamannya ada, namun tidak diketahui bagaimana mereka memilih-milih sumber yang
digunakan dan bagaimana menyusunnya menjadi sebuah cerita seperti yang mereka
buat. Mungkin saja saat itu ada pelajaran yang diajarkan kepada para pujangga
penulis sejarah tentang bagaimana menuliskan sejarah zamannya. Hanya saja tidak
ada informasi tentang hal itu yang sampai pada zaman kuta sekarang sehingga
diduga oleh para ilmuwan belakangan bahwa mereka melakukannya tanpa kaidah
ilmiah yang dapat dipegang.
Setelah Barat mencapai kemajuan
peradabannya akhir-akhir ini, dikembangkan pula motode-metode ilmiah dalam
penulisan sejarah. Metode-metode ini dibuat sedemikian rupa sehingga dapat
mengangkat sejarah sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya seperti sosiologi,
antropologi, geografi, dan sebagainya. Oleh sebab itulah, kata “sejarah” dapat
pula bermakna “ilmu sejarah” sama seperti biologi, fisika, geologi, dan
semisalnya.
Hanya saja, rasa superioritas
ilmuwan Barat telah membuat mereka lupa asal-usul ilmu yang mereka kembangkan.
Mereka mengklaim bahwa cara-cara ilmiah dalam menuliskan sejarah hanya mereka
yang melakukan. Mereka sebut sejarah yang ditulis tidak menggunakan metode yang
mereka kembangkan sebagai sejarah yang “tidak ilmiah” atau “tidak kritis”.
Sikap ini jelas menunjukkan ketidakjujuran ilmiah. Bukankah seperti dicontohkan
di atas, jauh sebelum Barat mengembangkan ilmu sejarah, umat Islam sudah
mendahuluinya? Sangat mungkin pula orang-orang Barat modern ini banyak
mengambil pelajaran dari umat Islam mengenai bagaimana menulis sejarah yang
benar.[]
Sumber: Disalin dari buku, Sejarah
Nasional Indonesia Perspektif Baru, Tiar Anwar Bachriar, dkk, diterbitkan
oleh: AIEMS bekerjasama dengan DDII dan Pascasarjana Pendidikan Islam UIKA
Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar