Puasa adalah ibadah dengan cara meninggalkan dan atau menahan diri makan, minum, dan perbuatan lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Ini pengertian puasa secara
definisi. Artinya jika seseorang meninggalkan makan, minum, dan hal lain yang
membatalkan puasa dengan disertai niat, maka dia dianggap telah berpuasa. Yakni
puasanya sah.
Namun sesungguhnya hakikat dan
substansi tertinggi puasa bukan sekadar meninggalkan makan, minum dan pembatal
puasa yang sifatnya lahiriah. Sebab ternyata puasa itu bertingkat-tingkat. Imam
Al-Ghazali mengklasifikasi puasa menjadi tiga level (maratib).
Penjelasan sang Hujjatul Islam
tersebut kami kutip dari kitab Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin,[1]
halaman 37.[2]
Beliau mengatakan, “Puasa itu
memiliki tiga level (maratib); puasa umum (saum al-umum), puasa khusus (saum
al-khusus), dan puasa khusus al-khusus”.
“Adapun saum al-umum
adalah menahan diri dari syahwat perut dan kemaluan”. Yakni meninggalkan makan
dan minum serta hubungan badan. Beliau menyebut ini sebagai puasa[nya] orang
awam. Semua orang berpuasa melakukan hal ini. Sebab ia merupakan standar utama
sahnya puasa.
Selanjutnya, “puasa[nya] orang
khusus, yaitu menahan diri dari syahwat perut dan kemaluan serta menahan lisan,
tangan, kaki, pendengaran, dan penglihatan dari dosa”.
Ini level kedua. Pada level ini orang yang berpuasa tidak hanya meninggalkan makan minum yang merupakan pemenuhan syahwat perut dan hubungan badan yang merupakan pemenuhan syahwat faraj (kemaluan). Tetapi orang yang berada pada puasa di level ini juga mem-puasa-kan anggota tubuhnya dari dosa. Yakni mengendalikan tangan, kaki, telinga, dan mata dari dosa.
Yang ketiga, puasa khususnya
orang khusus. Yakni ‘’puasa[nya] hati dari obsesi-obsesi dunia yang rendah dan
berbagai pikiran yang menjauhkan dari Allah serta mengendalikan hati secara
totalitas dari selain Allah”.
Level ketiga lebih khsus lagi
dari level dua dan pertama. Karena pelaku puasa level khusus al-khusus ini
tidak hanya mempuasakan dirinya dari pembatal puasa dan dosa. Tapi hati dan
pikiran serta nagan-angannya pun turut berpuasa. Hatinya berpuasa dari obsesi
dunia yang rendah (daniah. Sedangkan pikirannya berpuasa dari angan-angan yang
menjauhkan dari Allah.
Kita di Level Mana?
Kita patut bertanya, puasa kita
di level mana?
Jangan sampai bertahun-tahun kita
menjalani puasa, namun kita hanya berada di level satu. Yakni hanya meninggalkan makan dan
minum serta hubungan badan dan pembatal puasa lainnya. Puasa tetap sah. Kewajiban
telah tergugurkan. Namun kadang puasa yang hanya di level satu sangat
berpotensi rugi dari sisi pahala. Karena dalam satu haditsnya Nabi bersabda
bahwa Allah tidak memiliki hajat terhadap puasa[nya] orang yang tidak menjaga
lisannya dari dusta. Beliau bersabda,
“Siapa yang tidak meninggalkan
dusta dan perbuatan dusta, maka Allah tidak memiliki hajat terhadap puasanya
walaupun dia meninggalkan makan dan minumnya”. (HR. Bukhari)
Artinya, walaupun seseorang
berpuasa dalam arti meninggalkan makan minum, Allah tidak berkenan terhadap
puasanya jika ia tidak mempuasakan lisan dan anggota tubuh lainnya dari dosa.
Oleh karena itu kita harus naik
level dari tahun ke tahun. Harus ada upaya serius menaikkan level puasa kita
dari sekedar menahan lapar dan dahaga serta syahwat biologis. Naik ke level ‘’puasa
dari dosa dan perbuatan sia-sia”. Termasuk puasa dari medsos yang melalaikan.
[]
Bogor, 2 Ramadhan 1443 H
[1] Mukhtashar
Minhaj Al-Qashidin adalah karya Al-Imam Najmuddin Abul Abbas Ahmad bin
Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi (w.689). Kitab ini merupakan ringkasan dari
kitab Minhaj Al-Qashidin karya Imam Ibnu Jauzi, sedangkan Minhaj
merupakan ringkasan dari Ihya Ulumuddin karya Hujjatul Islam Abul Hamid
Al-Ghazali. Jadi, Mukhtasar Minhaj Qashidin sebenarnya ringkasannya ringkasan
kitab Ihya karya Al-Ghazali.
[2] Najmuddin
Abul Abbas Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj
Qashidin, Mesir: Darul Alamiyah 2016, cet.1, hlm. 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar